MENUNDUK BELUM TENTU TAWADU
Dalam dunia pesantren, sudah menjadi keharusan seorang santri ta'dzim kepada kyainya. Salah satu bentuk keta'dimannya adalah menunduk saat beliau lewat dihadapan kita. Yang menjadi tanda tanya, apakah lantas hal itu disebut tawadhu ?
Tarik nafas, ulur
Tidak semudah itu mengklaim tawadhu hanya dengan sebatas melihat dohirnya. Tawadu sendiri berarti merasa lebih rendah dan lebih hina dari keadaan yang ada. Kata "merasa", rasa adalah perbuatan hati. Otomatis tawadu tidak bisa dinilai dari fisiknya.
Bisa jadi seseorang terpaksa munduk-munduk karena faktor lingkungan, ikut-ikutan atau tabu kalau tidak melakukan hal itu, padahal hatinya tidak sreg atau kurang legowo menerimanya bahkan merasa lebih dari si A alias antonimnya, takabur.
Dampak dari sifat tawadu ialah menerima segala sesuatu yang terjadi. Jika ia diludahi, ia merasa "pantasnya aku diludahi dan dipukuli". Jika ia diludahi dan dipukuli, ia merasa " pantasnya aku diludahi, dipukuli dan diinjak-injak. Jika ia diludahi, dipukuli dan diinjak-injak, ia merasa "pantasnya aku diludahi, dipukuli, diinjak-injak dan ditembak, dan seterusnya.
Rosulullah sendiri ialah pribadi yang paling sempurna tawadunya. Bagaimana tidak ?, Siapa yang lebih tinggi dari derajat beliau ? Tidak ada kan ?. Tapi Beliau selalu menerima dengan legowo semua deraan dari kaum kafir quraisy.
Intinya, tawaduk hanya bisa diketahui diri kita sendiri. Untuk masalah lahiriah bisa disesuaikan.
PKL 200518
Komentar
Posting Komentar