Aku dan Mereka
Begitulah, hanya tujuh pria tampan yang tersisa dari 28 orang seangkatanku. karena 21 dari itu kesemuanya perempuan. Aku termasuk angkatan awal disekolah yang notabenya masih baru itu. Tak heran jika kawan seangkatanku sangat minim. Sebenarnya tadinya sih jumlahnya lumayan banyak. Tapi entah karena alasan apa, lambat laun satu-persatu pada hengkang dari sekolah itu. Keminiman peserta didik sebagian besar disebabkan siswa-siswi tamatan SMP lebih memilih sekolah SMK dari pada SMA apalagi MA yang pada waktu itu lagi naik daunnya. Ya gak papa sih. Saya juga gak maksa.
Aku sekolah di MANU Karangdadap . Sekolah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah.
Sebuah tantang tersendiri belajar di sekolah yang notabenya baru tersebut. Selain fasilitas yang kurang memadai juga peraturannya yang berjalan kurang maksimal.
Saya kira semua sekolah pasti ada satu dua peserta didik yang konotasinya nakal. Tak terkecuali sekolahanku. Jangan dikira sekolah yang berbasis agama semuanya alim-alim dan sholeh-sholeh. Kengeyelan tersebut sebagian besar dipicu oleh kegagalan pentarbiyahan sejak dini oleh orang tua dilingkungan tempat tinggalnya. Sebagian juga karena alasan caper. Ingin mencari perhatian lawan jenisnya. Maklum, SMA adalah masa-masa puber, dimana seseorang sudah mulai tertarik pada lawan jenisnya. Tapi ingat, caper ada yang dengan cara negatif dan ada pula positif. Jika bisa yang positif , kenapa tidak ?
Murid sedikit bisa dibilang enak, bisa juga dibilang sebaliknya, dengan alasan membosankan karena temannya sedikit. Tapi aku bukan tipe orang yang mempermasalahkan sedikit banyaknya murid. Kan sekolah itu mencari ilmu bukan memperbanyak teman. Nah, nilai plusnya murid sedikit itu peluang kita berprestasi atau mengembangkan bakat sangatlah besar. Ada lomba ini diikutin itu diikutin dan sebagainya. Plus lagi perhatian guru pada muridnya cukup besar dan merata. Iyakan ?
6 teman laki-laki seperjuanganku bisa dibilang mereka Sang Jawara. Mereka mempunyai bidang dan keahlian masing-masing. Aku mengakui sendiri itu. Bakat satu dengan lainnya sangatlah kontras. Ada yang ahli matematik, seni, sastra, inggris, informasi, religi dan lain lagi. Tidak bermaksud sombong, kata teman-teman, saya sendiri ahli bahasa arab dan sedikit banyak tau tentang agama. Entah mengapa mereka memanggilku "pak yai". Apakah tampang saya sudah tua atau bagaimana. Sebenarnya aku sudah bersikeras menolak panggilan tersebut. Tapi ya gimana lagi, keusilan teman-teman membuat panggilan tersebut melekat sampai sekarang. Dan sebenarnya dalam hati aku mengamininya. Agar nyata, bukan sekedar panggilan.
Terimakasih teman-temanku, semoga persahabatan kita sampai kepulau surgawi.
Terimakasih Bapak-Ibu Guruku.
Terimakasih Sekolahku.
Terimakasih semuanya.
Komentar
Posting Komentar